Semiotika Makna di Balik Wanirejo
Di sebuah desa bernama Wanirejo, hamparan hijau padi bergoyang pelan diterpa angin sore. Suara jangkrik menyambut senja, sementara bayangan pohon kelapa menari di pematang sawah. Di tengah landscape yang tampak abadi itu, jadi latar film Abadi Nan Jaya, bukan sekadar kisah manusia, tetapi perenungan atas waktu, makna, dan tanda-tanda yang tersembunyi di balik keseharian.
Film ini, dengan latar desa yang tenang dan seolah berhenti dalam ruang waktu, menghadirkan ruang baca semiotik yang kaya. Setiap elemen visual, warna tanah, gerak air, bunyi bambu yang bergesekan, menjadi tanda yang berbicara lebih dalam dari sekadar estetika.
Semiotika di Balik Keteduhan
Kalo dalam teori semiotika, seperti yang dijelaskan oleh Kang Roland Barthes, tanda (sign) terdiri dari dua unsur: penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk fisik yang tampak, misalnya sawah yang hijau atau kabut pagi. sedangkan petanda adalah makna yang muncul dalam pikiran penonton: kesuburan, ketenangan, atau bahkan kenangan masa lalu yang tak terulang.
Nah di film Abadi Nan Jaya ini, desa Wanirejo bukan sekadar lokasi. Ia adalah penanda keabadian, dunia yang tak tersentuh modernitas, tempat waktu seakan berputar lebih lambat. Namun di sisi lain, petandanya bisa berarti stagnasi: kehidupan yang tak berubah, yang memaksa warganya hidup dalam siklus yang sama tanpa ruang untuk bergerak maju.
Tanda-Tanda yang Menyapa Penonton
Desa Sebagai Teks yang Hidup
Melalui pendekatan semiotik, Wanirejo dapat dibaca sebagai teks, tempat di mana tanda-tanda saling berinteraksi. Film ini tidak memberi jawaban tegas, tetapi justru mengundang penonton untuk membaca: apakah “abadi” berarti bertahan, atau justru terperangkap dalam masa lalu?
Keteduhan desa menjadi kontras dengan keresahan batin tokoh-tokohnya. Mereka hidup di lanskap yang tenang, tapi di dalamnya tersimpan benturan antara tradisi dan perubahan, antara keabadian dan keinginan untuk jaya. Di sinilah keindahan Abadi Nan Jaya, ia tidak berkisah dengan kata-kata besar, melainkan dengan tanda-tanda kecil yang tumbuh di antara dedaunan dan embun pagi.
Keheningan yang Berbicara
Abadi Nan Jaya bukan hanya tentang desa yang damai. Ia adalah renungan tentang manusia yang mencari makna di antara tanda-tanda keseharian. Di bawah rindang pohon di Wanirejo, semiotika menjadi cara untuk memahami bahwa setiap hal, bahkan bunyi angin sekalipun, memiliki lapisan makna yang menunggu untuk dibaca.
Dalam keheningan itulah film ini menemukan kekuatannya: bahwa keabadian tidak selalu tentang waktu yang tak berakhir, tetapi tentang makna yang terus hidup di hati penontonnya.
Apakah kekacauan mendadak yang melanda tenangnya Wanirejo, akan melanda ruang sempitnya gerak dan nafas Jakarta melalui Grace? menarik untuk menantikan struktur kreatif Pak Kimo sebagai dalang porak porandanya ketenangan negeri hijau Abadi nan Jaya ini..
Abadi Nan Jaya, tayang di Netflix mulai 23 oktober 2025.
AP, 27 Oct 2025